Sabtu, 22 Januari 2011

Mengatasi Multi krisis dg IBDAK BINAFSIK (memulai dr diri sendiri)

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Arra’du : 11)

P

ada ayat diatas, Allah berfirman, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka (kaum tersebut) mengubah diri mereka sendiri.” Yang menjadi kata kunci (keyword) disini adalah ‘diri’ (dalam ayat tersebut anfus, jamak dari nafs). Dalam terminologi sosial, kata ‘diri’ (anfus, nafs) ini mengingatkan kita pada ‘individu’. Sampai di sinilah, sebelum ada pernyataan populer dalam sosiologi (bahwa), “perubahan struktural tak akan pernah terjadi tanpa didahului perubahan kultural, dan perubahan kultural tak akan pernah terjadi tanpa perubahan inidividual,” ternyata Allah SWT sudah mengekspresikannya melalui QS Arra’du ayat 11 ini yakni perubahan individual induk dari segalanya. Dalam hadits Rosulullah SAW bersabda : “Ibda’ Binafsik” yang artinya Mulailah dari diri anda. Hadits ini pada MTQ MUBA ke-24 di Sungai Lilin dijadikan motto dengan harapan dengan adanya MTQ, setiap kita memulai diri untuk mengimplementasikan isi alqur’an dan hadits dalam kehidupan sehari hari. Rasulullah SAW sebagai panutan kita menjadikan Ibda”binafsik sebagai solusi terbaik dalam membina umat dan mengatasi krisis multi dimensional.

Nabi Muhammad saw adalah contoh teladan terbaik dan tipologi ideal paling prima. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an surat Al-Ahzab, 33: 21 yang berbunyi:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

(Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah).



Ketauladanan Nabi diambil, antara lain, karena ia mampu menghadapi berbagai masalah yang dihadapi secara praktis, realistis, tanpa kehilangan keseimbangan, tanpa kehilangan idealisme dan tanpa surut dari sebuah misi. Itulah sebabnya Michael H. Hart, dalam bukunya “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Umat Manusia”, menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh Nomor Satu yang paling berpengaruh dalam sejarah kehidupan manusia.

Strategi Rasulullah dalam mengatasi krisis yang paling ampuh ialah selalui memulai dari diri sendiri. Prinsip ini tertuang dalam hadits singkat:

إبدء بنفسك

(mulailah dari diri sendiri).

Strategi mengatasi krisis model ini cukup berhasil tidak terlepas dari beberapa faktor.

Pertama, kualitas moral-personal yang prima, yang dapat disederhanakan menjadi empat sebagai sifat wajib bagi Rasul, yakni: siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah: jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat sifat ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul saw. Kehidupan Muhammad sejak awal hingga akhir memang senantiasa dihiasi oleh sifat-sifat mulia ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, ia telah memperoleh gelar al-Amin (yang sangat dipercaya) dari masyarakat pagan Makkah. Pentingnya kualitas moral yang prima ini kembali ia tekankan setelah menjadi utusan Tuhan dalam haditsnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda: Sesungguhnya aku diutus guna menyempurnakan kebaikan akhlak. (H.R. Ahmad, 8595).

Kedua, Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya. Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya. Ketika dakwahnya sudah mulai dianggap sebagai gangguan serius oleh masyarakat Makkah, para pemukanya mencoba membujuk Muhammad untuk berhenti. Namun ia dengan tegas menolak setiap bujukan tersebut. Puncaknya adalah ketika kepadanya ditawarkan kedudukan yang tinggi dalam sistem masyarakat Makkah serta sejumlah besar kekayaan material. Pada lazimnya kedua tawaran tersebut akan membuat orang goyah pendiriannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Rasul saw. Dengan sangat tegas namun tetap santun ia menjawab: Kalaupun mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tak akan bersedia menghentikan dakwah Islam. Tidak ada yang dapat dipikirkan oleh para pembesar Makkah lagi untuk membobol benteng integritas Muhammad, dan karena itu mereka pun lalu beralih pada jalan kekerasan. Namun cara ini pun dihadapinya dengan kesabaran yang berbuah keberhasilan.

Ketiga, kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan salah satu dasar terpenting manajemen Rasul saw. Menanggapi sebuah masyarakat yang memberlakukan hukuman potong tangan kepada pencuri dari kelas bawah, tetapi tidak menerapkannya kepada pencuri dari kalangan atas, Rasul saw. dengan tegas bersabda:

وَاللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَاهَا

Demi Allah, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. (H.R. Bukhari, 3216)

Keempat, Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta menarik tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah penggunaan konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah, anggota, rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara beliau sebagai pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan keakraban serta kesetaraan. Berbeda dengan, misalnya, murid, staff, atau pengikut yang kesemuanya berkonotasi tingkatan tinggi-rendah. Sahabat lebih bermuatan kerjasama dua arah, saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Sahabat terasa sedemikian dekat, seolah tanpa jarak. Konsep persahabatan memang benar-benar tepat menggambarkan realitas hubungan yang terbina antara Rasul saw. dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah antara lain motivator yang telah membuat para sahabat rela mengorbankan apa saja (seperti jiwa, raga, harta, waktu) demi perjuangan Rasul saw. Sebab di dalam hati mereka merasakan bahwa cita-cita Rasul saw. adalah juga cita-cita mereka sendiri, dan keberhasilan beliau adalah juga keberhasilan mereka.

Kelima, kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi yang sesuai untuk diterapkan. Model dakwah rahasia yang diterapkan selama periode Makkah kemudian dirubah menjadi model terbuka setelah di Madinah, mengikuti keadaan lapangan. Keberhasilan Rasul saw. dan para sahabatnya dalam perang Badr jelas-jelas berkaitan dengan penerapan sebuah strategi yang jitu. Demikian pun peristiwa pahit perang Uhud, adalah saksi kegagalan dalam menerapkan strategi yang sesungguhnya sudah tersusun rapi dan rinci.

Keenam, tidak mengambil kesempatan dari kedudukan. Rasul Saw. wafat tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin bukanlah sebuah mesin untuk memperkaya diri. Sikap inilah yang membuat para sahabat rela memberikan semuanya untuk perjuangan tanpa perduli dengan kekayaannya, sebab mereka tidak pernah melihat Rasul saw. mencoba memperkaya diri. Kesederhanaan menjadi trade mark kepemimpinan Rasul saw. yang mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang Umar ibn al-Khattab. Seseorang dari Mesir datang ke Madinah ingin bertemu dan mengadukan persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut benar-benar terkejut ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di bawah sebatang kurma. Tak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pemimpin besar yang sangat berkuasa—ia tak berbeda dari orang-orang yang dipimpinnya.

Ketujuh, visioner–futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul saw. adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir demi masa depan (sustainable). Meski tidak mungkin merumuskan alur argumentasi yang digunakan olehnya, tetapi banyak hadits Rasul saw. yang dimulai dengan kata ‘akan datang suatu masa…’, lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan dengan persoalan tertentu. Kini, setelah sekian abad berlalu, banyak dari deskripsi hadits tersebut yang telah mulai terlihat dalam realitas nyata. Berikut adalah beberapa contoh hadits futuristik:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Akan datang satu masa ketika orang tak perduli lagi dengan cara apa ia mendapatkan harta, dengan halal atau haram. (H.R. Bukhari, 1941)

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَدْرِي الْقَاتِلُ فِي أَيِّ شَيْءٍ قَتَلَ وَلَا يَدْرِي الْمَقْتُولُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ قُتِلَ

Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, akan datang satu masa ketika seorang pembunuh tak tahu lagi kenapa ia membunuh, dan orang yang terbunuh tak tahu kenapa ia dibunuh. (H.R. Muslim, 5177)

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَقُومُونَ سَاعَةً لَا يَجِدُونَ إِمَامًا يُصَلِّي بِهِمْ

Manusia akan mencapai suatu masa ketika suatu waktu mereka berdiri (untuk shalat) dan tak menemukan seorang yang bisa menjadi imam. (H.R. Ibn Majah, 972)

Kedelapan, menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya. Pribadi Rasul Saw. benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses panjang upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi dari misinya. Oleh karena itu ia dengan mudah dimengerti dan dengan berhasil menggerakkan masyarakatnya untuk sama-sama berupaya keras mencapai tujuan bersama. Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi manakala kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di atas, Rasul saw. selalu menjadi contoh bagi apa pun yang ia anjurkan kepada orang-orang di sekitarnya.

Selaku umat Islam, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti, mencontoh dan menteladani semua perilaku terpuji rasulullah yang lebih dikenal dengan istilah akhlakul karimah. Akhlakul karimah tersebut dapat kita temui dalam berbagai literatur baik berupa sirah nabawiyah, riwayat-riwayat sahabat beliau, maupun firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an yang Rasullau selalu memulainya dari diri belia sendiri. Sebagai Orang tua ketika menyuruh anaknya untuk tidak merokok atau mengkonsumsi narkoba maka seharusnya kita memulai diri untuk tidak merokok dam mengkonsumsi narkoba. Sebagai guru ketika menyuruh anak didiknya untuk belajar maka seharusnya harus memulai dirinya untuk senentiasa belajar. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Asshaf : 2

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (QS 61 :2)

Wallahua’lam bishowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar