Selasa, 14 Desember 2010

Tentang pesantren

Peran Santri di Era reformasi Cetak E-mail
Ditulis oleh Arwani Syaerozi   
Memang bulan Mei 1997 lebih dikenal sebagai start point bagi kalangan akademis dan civitas dalam menunjukkan kekuatannya di mata publik di masa orde baru, dengan desakan reformasi-nya yang mahadahsyat telah berhasil menumbangkan rezim tirani Soeharto, melalui reformasi ini juga sebenarnya komunitas kaum sarungan (santri) turut bersemi menunjukkan potensi dan eksistensinya di tengah masyarakat luas. 
Bagaimana tidak, beberapa santri tulen semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) turut tampil dalam pergolakan tersebut, atau Nur Cholis Majid (Cak Nur) cendekiawan yang mengenyam lama penididikan pesantren, sangat diperhitungkan partisipasinya dalam proses bergulirnya reformasi. Namun kaum sarungan sepetinya luput dari bidikan wartawan, peran santri tidak terrekam dengan baik dalam pita sejarah reformasi.

Sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula nyatanya kiprah kaum sarungan (santri) semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, dan PKNU yang baru-baru ini dideklarasikan oleh beberapa ulama sepuh NU.

Gaung komunitas santri dalam dedikasinya terhadap kondisi bangsa tidak segegap gempita image akademis dan civitas perlu kita baca kembali dengan realitas dipegangnya beberapa pos strategis pemerintahan oleh kaum sarungan, Gus Dur adalah prseiden RI ke 4, ayahnya KH. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri agama, begitu juga. Mukti Ali dan Saefullah Yusuf adalah sosok santri senior yang sempat tampil dalam birokrasi pemerintahan pusat.

Dalam dunia seni dan budaya, kita akan mengenal Acep Zamzam Noor (penyair asal pesantren Cipasung), atau KH. Musthafa Bisri (budayawan asal pesantren Rembang), dimana kreasi dan inovasi mereka sangat mempengaruhi atmosfir seni dan budaya di nusantara, bahkan Musthafa Bisri adalah budayawan nasional yang kerap dijadikan rujukan umat bukan hanya dalam lini kebudayaan.

Lingkup sosial masyarakat, setidaknya kita bisa melihat peran ormas NU, beserta perangkat dan badan-badan otonomnya banyak mendampingi grass root dalam mengusung agenda reformasi agar benar-benar menyentuh kalangan bawah. Begitu juga bermunculannya lembaga swadaya masyarakat (LSM) banyak yang dimotori oleh kaum sarungan, baik LSM yang konsentrasi di bantuan hukum, lingkungan hidup, kerukunan umat beragama, ekonomi maupun yang bergerak di bidang pendidikan.

Sayangnya dengan realitas sejarah di atas, data sejarah reformasi yang kita kenal selama ini masih menyimpulkan peran kaum santri tetap termarjinalkan dalam ruang publik, saya melihat hal ini disebabkan oleh tiga faktor berikut:

Pertama, minimnya publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos melalui media massa (baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda media, padahal inti publikasi itu sendiri sebagai usaha dalam menumbuhkan sikap ghirah (tertarik untuk melakukan) pada orang lain dalam hal yang positif.  Sementara di sisi lain tidak jarang komuintas tertentu berani membayar pers demi kepentingan membangun image.

Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun organisasi yang mapan, sistematis networks adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh: sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro’an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun Lsm. Jaringan kerjasama dengan pihak eksternal mutlak dibutuhkan dalam rangka melebarkan sayap kerja, yang secara otomatis masyarakatpun akan merasa lebih diayomi oleh para santri. Dengan relasi kerja ini pula, sekelompok santri peduli lingkungan dalam contoh di atas akan terdeteksi peran dan kontribusinya, akan terbaca lebih luas oleh masyarakat segala kiprahnya.
 
Ketiga, agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal. Kalau kita amati lebih jauh, ternyata banyak jenis kegiatan yang dimotori oleh kaum sarungan sifatnya hanya kondisional, pendidikan poilitik, hanya sebatas menjelang tibanya pemilu, selepas gegap gempita pesta demokrasi, program yang semestinya diadakan berkesinambungan di komunitas lenyap begitu saja. Atau pembekalan manajemen ekonomi dan bisnis, konsistensinya tidak menjadi target dalam mengadakan program kerja. Flash activities inilah yang sebenarnya akan membuahlkan hasil yang serba tanggung, akhirnya masyarakat pun tidak sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.

Kalau saja tiga faktor di atas diperhatikan oleh kaum santri, saya yakin kontribusi kyai dan santri dalam mengusung agenda reformasi akan lebih terbaca luas oleh publik, bukankah dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia 85 persennya adalah muslim? Dan bukankah dari sekian banyak kaum muslim Indonesia mereka adalah kaum sarungan? Lantas yakinkah kontribusi dan peran santri dalam dunia nyata selama ini sangat minim? Untuk itulah saya yakin bahwa kaum santri telah banyak berpartisipasi, walaupun secara kasat mata jarang yang mengapresiasi jerih payah mereka. Wallahu A’lam.  
* Pemerhati masalah-masalah sosial dan kegamaan, anggota dewan penasihat pesantren Assalafi Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa barat.

Pesantren dan Rekonstruksi Akhlak Cetak E-mail
Ditulis oleh Nasrul Afandi *   
Dr. Alexis Carrel,  dalam bukunya  Man The Unknown, Ia mengatakan, bahwa dunia telah dilanda dekadensi moral. Realitas kehancuran akhlak yang telah lama “kronis” dan semakin gencar melanda bangsa Indonesia ini, kiranya tidaklah berlebihan bila Indonesia dinominasikan sebagai salah satu sudut bagian dari sektor atau wilayah yang dimaksud oleh salah satu ilmuwan kenamaan asal Perancis itu. 
Innalillah(ungkapan terjadi bencana kecil), bahkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un (ungkapan terjadi bencana besar) !!!, bangsa kita telah dilanda bencana atau musibah kehancuran akhlak. Musibah besar itu semakin gencarnya menghantam tanah air kita. Realitasnya, untuk sekarang ini, tidak satu pun ahli pendidikan yang tidak mengatakan, “bahwa kondisi dunia, di antaranya Indonesia sekarang telah benar-benar mengalami dekadensi akhlak yang luar biasa –dalam standar umum sekalipun, apalagi yang benar-benar akhlakulkarimah--“.

Ironisnya, hal itu juga telah menjangkit dan akrab bergumul dengan komunitas berpendidikan. Bahkan naifnya lagi, musibah itu, mereka umumnya menyebut hal biasa. Misalnya, biasa jaman modern, generasi muda-mudinya bergaul bebas dan jauh dari akhlakulkarimah. Sungguh naif dan  memilukan, bukan ?.

Kita menyaksikan, utamanya fenomena yang sangat memprihatinkan, adalah dunia lingkup tunas-tunas bangsa dalam gejolak “pemelesetan” dari globalisasi dan rekayasanya ini.  Padahal generasi muda adalah mahkota dari suatu bangsa. “Jika putra-putri bangsa itu baik, maka suatu negara menjadi harum, dan justeru sebaliknya, bila generasi mudanya telah rusak akhlaknya, maka busuklah suatu negara”. Demikian komunitas terdidik sering berujar.
Sekali lagi, musibah besar itu semakin gencarnya menyerang. Di mana berstatusnya putra-putri bangsa sebagai siswa-siswi, atau bahkan mahasiswa-mahasiswi alias bukan siswa-siswi biasa lagi. Bukanlah sebuah jaminan atau “asuransi”  meningkat dan terjaganya intelektualitas mereka(kita), baik pemikiran maupun segala sikapnya. Padahal, merekalah yang dipastikan akan mengemudi bangsa di masa mendatang, meskipun pada level atau lahan yang berbeda. Namun, ’’bibit nahkoda ‘’ bangsa ini sangat naif dan  memperihatinkan.
*****
Peran Pesantren Dalam Rekonstruksi Akhlak

KH. Abdurrahman Wahid dalam bukunya(Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren h, 171). Ia  berpendapat, bahwa pondok pesantren seperti akademi militer atau biara (monastery, convent) dalam arti bahwa mereka yang  berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.

Sehingga, dengan faktor tersebut, penulis berpendapat, di tengah-tengah terus rusaknya akhlak dari “atap langit” sampai “akar bumi” bangsa kita ini. Pondok pesantren akan sangat tetap memungkinkan untuk tetap survive sebagai  ‘’transmisi atau agen akhlakulkarimah’’. untuk “memfilter” keluar-masuknya budaya. Demi terimplementasinya akhlakulkarimah dalam berbagi aspek kehidupan masyarakat.
Hal tersebut, sesuai pendapat Clifford Geertz yang dituangkan dalam bukunya (‘The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker’, vol, 2, h, 228-249), bahwa kiai pesantren punya peran besar sebagai “makelar budaya” (Cultural Broker).
Tetapi, mentelaah pendapat Geertz itu. Penulis tetap  berpendapat: “memfilter budaya”, adalah dalam konteks menuju terimplementasinya akhlakulkarimah dalam kehidupan manusia. Namun, pesantren akan bisa tetap berfungsi sebagai "fiter budaya" juga, bila di masing-masing pondok pesantren, pendidikan akhlak masih dominan dan dimaksimalkan.
Sebab, dengan optimalnya akhlakulkarimah(minimalnya pendidikan) di masing-masing pesantren itulah, maka pesantren akan tetap mampu untuk berperan aktif dalam “memfilter budaya”, karena dengan adanya akhlakulkarimah itu pula, dari sekian banyak gelombang budaya yang terus kencang mengalir dan membanjiri manusia, tapi komunitas pesantren (utamanya santri di masing-masing persantren) mudah menerima terhadap hasil "penyaringan budaya”  yang dipimpin oleh kiyai dan kemudian para santri langsung melaksanakan dan dengan sendirinya mengalirkannya budaya baru yang telah "disaring" itu, kepada publik(lingkungan) setelah mereka(para santri) kembali ke kampung masing-masing. Untuk menerapkan budaya dalam kehidupan masyarakat yang tidak bertabrakan dengan akhlakulkarimah.
Namun sebaliknya, bila akhlakulkarimah(akhlak terpuji)  telah pias di dalam kehidupan pesantren, dan dikalahkan oleh akhlakussayyi’ah(akhlak tercaci) maka pesantren dalam konteks "makelar budaya" tidak akan begitu banyak berperan, atau bahkan sama sekali tidak akan bisa berperan.
Hal itu, bisa dilihat dan dibuktikan dalam komunitas akademisi yang free _expression, baik di dalam, utamanya di luar kampus(kost-kostan). Dengan sendirinya tidak memungkinkan dunia kampus untuk bisa berfungsi sebagai “medium budaya”, tetapi lebih tepat dan lebih empuk sebagai "obyek atau mangsa budaya". Kecuali, secara individual komunitas akademisi punya kemampuan untuk melakukannya, dan tentunya, dengan lingkungan(kost) yang tidak mendukung itu, hal itu minim sekali. Karenanya, sangatlah tepat sekarang-sekarang ini, banyak bermunculan pesantren sebagai asrama mahasiswa. Sehingga merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan untuk mengusung(moral) generasi yang berakhlakulkarimah(mengenai hal ini, bisa  lihat tulisan saya “mengkaji Ulang Pondok Pesantren Mahasiswa”, di www.pesantrenvirtual.com, awal publikasi tgl. 2/11/2004 ).
Pendapat yang penulis ungkapkan di atas tersebut, sesuai dengan statement Albert Schweitzer, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Falsafah al-Hadhoroh, h. 5-6), bahwa pembentukan budaya manusia harus didasari dengan pendidikan akhlak.
Dan memang, di tengah runtuhnya akhlak bangsa kita ini. Seiring dengan memuncaknya gejolak hedonisme ini,  pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai markas religius(Islam), dalam kafabilitasnya sebagai ‘’agen’’ akhlakulkarimah, jelas harus eksis dan survive mengajarkan dan menuntun para santri(masyarakat) untuk secara perlahan menerapkan akhlakulkarimah dalam hidup dan kehidupan, baik horisontal maupun vertikal  dalam berbagai segi dan sendinya. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak”(Musnad al-Imam Ahmad, vol, 1, h, 381).
Hal itu, sesuai kondisi awal hadirnya pesantren, ketika itu bangsa Indonesia dalam kondisi hewani atau Jahiliah(sebelum datangnya Islam), dan pesantren (dengan agama Islam) hadir untuk mengusung manusia ke arah yang bermoral atau manusiawi.

Termasuk ketika para elite pesantren “menyelewengkan” institusi pesantren untuk “dimanfaatkan sebagai alat” di dalam gelanggang politik, komunitas pesantren harus tetap menjadikan akhlakulkarimah sebagai salah satu “senjata peperangan” di dalam gelanggang yang semestinya “harus” demokratis itu, demi untuk menjaga identitas pesantren, dan menanamkan “benih demokrasi”  yang berawal dari kebersihan.
Meski pun dewasa ini, pendidikan akhlak itu, oleh sebagian golongan kadang hanya dianggap sebuah “konservatisme” demi untuk mengkultuskan sang kiyai, katanya. Misalnya saja, karya syeikh Ibrohim bin Ismail, sebuah syarah dari kitab Ta’lim al-Muta’allim; thoriq at-ta’alum  karya syeikh al-Zarnujy , atau Akhlaq al-Banin  (ibtida’iyyah) karya Umar Bin Ahmad Baradja, dan pelajaran-pelajaran akhlak lainya, yang masih eksis diajarkan di berbagai pesantren, utamanya pesantren tradisional.
Namun, asumsi sebagian orang tersebut, oleh kalangan elite pesantren biasa dianggap hanya sebagai faktor ---yang mungkin— bisa menunjang terhadap arus perdebatan Islam yang semakin gencar sekarang-sekarang ini. Dan hal itu, sama sekali tidak bisa “menggoyang” terhadap eksistensi pendidikan akhlak yang masih dan harus dominan dilaksanakan oleh masing-masing pesantren. Karena dengan tertanamnya akhlakulkarimah  itu, akan turut melancarkan peredaran ilmiah, di antaranya  anak manusia akan mengetahui ‘’di mana’’ posisinya dalam siklus ilmiah, sebagai guru, atau murid, atau pendengar, dan atau hanya berposisi sebagai pecinta saja !! ?. Dan berbagai fungsi lainya.
Dan memang, dalam konteks pendidikan, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi sekaligus  mendidik (akhlak). Yang mana akhlakulkarimah itu, sekarang ini dalam liberalisasi atau sekularisasi dunia akademisi semakin terpuruk, utamanya “iklim pergaulan” antara laki-laki dan perempuan, dan yang paling memprihatinkan adalah di luar kampus(tempat-tempat kost), dalam komunitas akademisi perguruan tinggi Islam sekali pun.
Alasan mereka singkat saja: “Kita ingin jadi Muslim moderat”. Meskipun di antara mereka banyak kedapatan yang “tidak jelas” landasan hukum yang dipegang, dan juga dalam ketidak tauan terhadap pegangan hukum, dan kurang siapnya untuk melakukan kewajiban agama itu. Ironinsnya, mereka banyak yang mengatakan: “kita ini manusia biasa, bukan Nabi yang ma’shum(terjaga dari maksiat)”. Sungguh menggelikan sekaligus memprihatinkan, bukan ! ? .
Memang benar hal tersebut. Tapi persoalannya, kenapa kita tidak berfikir dan  mengatakan : ‘’Mari kita sama-sama untuk terus berusaha meningkatkan ketakwaan kita, dengan cara yang menunjangnya, misalnya menjauhi tempat-tempat yang dikenal sangat jauh dari akhlak terpuji, dan berpotensi dengan akhlak tercaci(kemaksiatan), seperti tempat kost yang umumnya dan dikenal sebagai tempat yang  rusak dan kotor itu. Karena dalam hukum Aqli(hukum logika), berada di tengah kobaran api, kita akan terbakar, di  tengah lautan  akan  tenggelam’’. Bukankah berfikir demikian itu, kita lebih ilmiah ?.
Ironinya lagi, telah terjadi “pemelesetan agama” dalam budaya bahasa, sehingga sering terlontar dari mereka, agama adalah fanatisme belaka. Tetapi, mereka tidak pernah menyadari bahwa dirinya berada dalam fanatisme kesalahannya.
Sungguh menggelikan, selama ini, kalimat fanatik hanya sering dilontarkan kepada  agama. Padahal, aspek etimologi, kalimat fanatik bisa diterapkan dan dirangkai dengan berbagai kalimat lainnya. Misalnya fanatik dengan kesalahan, fanatik dengan seni, fanatik dengan berdagang, dan lain-lainnya. Inilah, kiranya salah satu bukti penyelewengan budaya bahasa dewasa ini, utamanya dalam komunitas muda. Dan mungkin juga diakibatkan karena kurang memahaminya terhadap  ilmu   bahasa. Sekali lagi, “Sungguh menggelikan dan memprihatinkan, bukan ?”. Agama dianggap fanatisme, tetapi kesalahan didewa-kannya !!!. 
Fenomena dan argumentasi di atas tersebut, lagi populer di kalangan “terpelajar”, baik pelajar umum utamanya pelajar perguruan tinggi agama Islam saat ini yang syok berwawasan ilmiah. Dan dari situ, dapat disimpulkan, betapa para pelajar Indonesia saat ini, ingin membuat argumentasi berdasar agama, tetapi miskin nuqtoh(nilai)  ilmiah. ‘’Mungkin inilah, ‘hasil’ dari ‘madzhab Ulil Abshor Abdulloh(demikian eja’an Arabnya)  cs’, atau yang biasa ditulis Ulil Absar Abdalah, yang di tengah-tengah semakin terpuruknya bangsa Indonesia dalam amaliah agama(akhlakulkarimah), Ia ’memproklamasikan group lawak’  bernama JIL(Jaringan Islam Liberal), yang katanya madzhab masa depan itu’’. Meskipun, sampai sekarang belum jelas, ada yang mengikuti atau tidak, kecuali sedikit orang yang punya kepentingan(pribadi) yang sama dengannya ?.



Terlepas dari ’’group lawak atau banyolan’’ Ulil cs. Tapi, harus diakui, gejala semacam itu, kini telah menjangkit dan merayap di berbagai lingkungan pesantren, yang umumnya diberi label pesantren modern, atau pesantren terpadu, yang lagi marak sekarang-sekarang ini. Banyak terdapat pesantren, yang digagas oleh orang-orang “tidak kenal” dengan pesantren, kondisi di dalamnya antara santri putra-santri putri, tidak beda dengan SLTP/SMU di luar pesantren, yang siswa-siswinya siang malam terbiasa dengan “iklim pergaulan” kost-kostan itu, ditambah lagi santri putra-putri, tinggal dalam satu lingkup asrama. ”Sekedar untuk diketahui, di sini penulis tidak memposisikan diri sebagai komunitas tradisionalis atau modernis,  tetapi memaparkan  di antara profil pondok pesantren yang ada sekarang ini”.



Maka, dapat diambil kepahaman, bahwa betapalah fenomena kehancuran akhlak itu, terus mengalir dan menyerang masuk ke berbagai “saluran, ruangan, atau rongga-rongga, dan sel-sel” komunitas terpelajar. Kiranya, diakibatkan oleh satu hal, yaitu “pemelesetan dan penyelewengan” dari eksistensi globalisasi dan demokrasi.



***

Fungsi Rekonstruksi Akhlak

Kita telah lama menanggung dukacita dan atau derita, dengan terjadinya berbagai "ganjalan", dalam berbagai sektor atau bidang hidup dan kehidupan. Mulai ekonomi, pendidikan, politik dan lainnya, baik individual, golongan, bahkan sampai tatanan berbangsa dan bernegara. Yang diakibatkan oleh, mulai kriminalitas para gepeng di pasar, preman di terminal maupun kriminalitas para pembantu rakyat(pejabat) dari level RT/RW sampai tingkat republik. Dapat diyakini, itu semua merupakan di antara bukti dari ambruknya akhlakulkarimah, atau  merosotnya  moralitas bangsa Indonesia dari posisi "akar bumi" sampai  "atap langit".
Hal tersebut, sesuai pandangan Imam Abu al-Hasan al-Mawardi dalam kitabnya (Adab ad-dunya wa-addin, h. 115), dengan tegas berpendapat, bahwa dekadensi akhlak merupakan hal paling cepat untuk menghancurkan seluruh bumi dan sendi-sendinya. Pendapat tersebut cukup logis dan realistis, karena dengan ambruknya akhlak, maka lahirlah korupsi, pencurian, dan berbagai kriminalitas atau penyelewengan lainnya yang merugikan bangsa dan negara, baik tatanan bermasyarakat maupun pemerintahan.
Karenanya, sangatlah tepat Dr. Gustave Le Bon dalam konteks pendidikan, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ruh  at-Tarbiyah, h. 337). Ia berpendapat, bahwa pendidikan akhlak adalah bagian dari permasalahan-permasalah utama yang tidak bisa disepelekan.
Sebab, penulis berpendapat, dengan kemuliaan akhlak, suatu bangsa akan menjadi terhormat, sebaliknya citra suatu bangsa akan ambruk dengan sendirinya bila rusak akhlaknya. Karena, menurut Dr. Gustave Lebon dalam buku lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (as-sunan an-Nafsiah Li tathowwur al-Umam. h.,172). Bahwa kehancuran suatu bangsa adalah akibat dari rusaknya akhlak bangsa itu sendiri.
Sehingga, menurut Umar ibnu Ahmad Baroja, dalam bukunya (ibtida’iyyah: al-Akhlaq lilbanin; littulabi al-madaris al-Islamiyah bi Indunisia, vol, 1 h, 4), bahwa untuk melekatkan akhlakulkhasanah(akhlak baik) pada pribadi manusia, maka semenjak dini pendidikan akhlak sangat penting, dan harus ditanamkan pada setiap anak-anak manusia, agar ia tumbuh-berkembang bersama akhlak yang terpuji, karena pada setiap pribadi manusia terdapat potensi akhlak terpuji (akhlakulkarimah) dan akhlak tercaci(akhlakussayyi’ah).
Jadi, untuk membangun suatu bangsa, memang terdapat banyak aspek yang perlu dilakukan, di antaranya meningkatkan pendidikan, menghidupkan gerak ekononmi, kedewasaan berpolitik dan lain sebagainya. Namun, yang paling esensial adalah  reorientasi moral, baik komunitas tua, utamanya tunas-tunas bangsa, sebagai generasi yang jelas sangat dibutuhkan untuk menentukan maju-mundurnya suatu bangsa, dan sekarang akhlaknya sudah  sangat "tercemar atau terkena volusi" itu.
Hal tersebut di atas, sesuai hasil penelitian  sejarahwan terkenal Edward Gippon terhadap runtuhnya emperium Romania, dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ambarathur ar-Rumaniah wa Suqhutuha, Vol,1, h. 230-259). Ia berpendapat, faktor utama yang menyebabkan hancurnya Romania, adalah karena pada waktu itu manusia-manusianya telah sangat jauh dari nilai-nilai moral, di antaranya mereka terlena dengan kemewahan yang berlebih-lebihan, dan para pemimpinnya terjebak dengan pertikaian dalam  memperebutkan jabatan dengan mengakses energi machiavellianisme atau politik menghalalkan segala cara,  serta berbagai  sikap-sikap dan tindakan amoral lainnya.
Fenomena tersebut, kini sangat kentara melanda bangsa kita. Ditambah lagi, kita mengalami estafeta musibah bencana alam yang terus menghunjam tanah air kita, kiranya hal itu, sebagai bukti adanya warning  dari Sang Maha Kuasa, kepada makhluknya(bangsa kita khususnya), yang tak jua kunjung insaf atau bertaubat. Sebagaimana yang banyak ditegaskan oleh ayat-ayat al-Quran, dan sunnah Rasulullah SAW(tidak untuk dibahas di sini).
Kiranya hal-hal tersebut, cukup sebagai bukti harus adanya ‘’rekonstruksi moral individual’’, baik dalam konteks etika sosial sesama manusia(horisontal), maupun vertikal(kepada sang pencipta). Mulai ‘’atap langit’’ sampai ‘’akar bumi’’ warga negara Indonesia. Utamanya yang mengenakan seragam(pejabat) sebagai tanda bahwa Ia terkait pengabdian dengan masyarakat, namun selalu menghianati dan menyusahkan rakyat yang menitipkan amanat padanya. Sehingga, akibat  ‘’prestasi mereka’’, bangsa kita mendapat  honoris causa sebagai negara yang mendapat ‘’rangking’’ kedua terkorup di dunia ini.

                                             ****
Penutup

TERLEPAS dari corak tradisionalisme, atau modernisme, atau sekularisme, atau liberalisme dan seterusnya. Tetapi  sebagai cermin tentang maju-mundurnya totalitas pesantren, dengan adanya akhlakulkarimah sebagai proyek (garapan utama) sekaligus  identitas pesantren itu. Dan karena pesantren punya faktor penunjang untuk memudahkan ‘menggarap’ hal tersebut(akhlak), sebagaimana telah dibahas di atas tadi.

Di sini muncul pertanyaan penting untuk langsung dijawab oleh kalangan pesantren, sebagai tolok-ukur atau barometer dari keberhasilan-kemerosotan pendidikan(akhlak) yang merupakan bagian dari dakwah itu, "masih eksis dan sudah maksimalkah, pendidikan dan amaliah akhlakulkarimah di setiap pondok pesantren, dan berbagai komunitas yang  punya  'hubungan  darah' dengan pesantren  ? ".

Bila pertanyaan ini tidak bisa segera dijawab dengan bukti, maka akan mendapat resiko nyata, secara perlahan dengan sendirinya pondok pesantren akan bergeser ke poros yang kurang menguntungkan, atau minimalnya kehilangan ‘’identitasnya’’ sebagai pesantren, dan(dalam konteks pendidikan) berubah menjadi sekolah berasrama.

Juga,  tentu kredibilitas dan kafabilitas pesantren akan “pias” dengan sendirinya, serta pondok pesantren tidak lagi akan bisa ikut berperan dalam membangun bangsa, dengan cara mengusung generasi yang berakhlak “sehat” ,  bila di dalam pesantren akhlakulkarimah yang merupakan modal utama untuk membangun bangsa itu, telah “menipis”.

* Penulis, adalah alumni pondok pesantren lirboyo Kediri; Generasi   Pesantren Kedungwungu Krangkeng Indramayu dan mahasiswa  universitas al-Qurawiyien Marocco

Kisah Hijrah Bertabur Hikmah: "Jangan Bersedih, Allah Bersama Kita..."PDFPrintE-mail

(0 votes, average 0 out of 5)
Written by Fredi Wahyu Wasana   
Thursday, 09 December 2010 07:38
Sehebat apa pun musyrikin membuat rencana untuk menggagalkan hijrahnya Rasul SAW, Allah-lah Sang Perencana terbaik.

Musim semi baru akan berlangsung. Bulan pada malam itu tampak kecil dilatari gugusan bintang yang berserak di atas langit. Udara dingin serasa menggigit kulit. Terpaan angin yang menerbangkan buliran pasir gurun membuat mata terpicing dan terkantuk-kantuk.

Ketika sebahagian besar penduduk Makkah terlelap dalam tidur, Rasulullah SAW tengah berkemas-kemas. Sementara itu beberapa kelompok musyrikin menyatroni lingkungan, mewaspadai gerak-gerik yang mereka incar dan curigai.

Keadaan yang demikian sunyi dan mencekam tidak membuat ciut nyali Rasulullah SAW untuk beranjak keluar dari kediamannya.
Ya, malam itu, permulaan Rabiul Awwal, menjadi langkah awal perubahan yang penuh persiapan masak bagi keberlangsungan Islam di muka bumi.

Nabi masih sempat membisikkan kepada Ali bin Abu Thalib RA, sepupunya yang pemberani, untuk segera menempati ranjangnya seraya berbalut selimut hijau dari Hadhramaut.

Sambil meraup pasir di pelataran rumahnya, beliau mengucap bismillah dan melontarkan pasir dalam genggamannya itu.

Sekejap kemudian, puluhan pemuda musyrikin yang semula menyatroni gerak-gerik Nabi terlelap. Dan Rasulullah pun berlalu dengan selamat. Semua itu bi idznillah, dengan izin Allah Ta'ala.

Kemudian, bersama Abu Bakar bin Abi Quhafah RA, Nabi bertolak ke arah selatan rumahnya menuju sebuah gua di Bukit Tsur.

Sebelum melangkahkan kaki, Rasulullah menatap kota Makkah dari kejauhan. Dengan berlinang air mata, beliau berucap, "Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah."

Gua yang sempit dan jarang disinggahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah tersebut. Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Abdullah ditugasi untuk memonitor perkembangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampaikannya kepada Rasul pada malam harinya ke tempat persembunyian. Asma saban sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy berusaha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Quraisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.

Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu.

Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.

“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persembunyian. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal sehatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bahkan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Derap langkah orang-orang itu seakan hampir menemukan mereka. Ia berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?"

Beliau menjawab dengan balik bertanya, "Apa yang ada di benakmu jika berduanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?"

Maka turunlah firman Allah, “Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Mahakuasa dan Bijaksana.” (QS 9: 40).

Setelah meyakini apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan hasil, gerombolan musyrikin ini meninggalkan gua tersebut.

Iman Meneguhkan Hati
Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.

Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun datang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Menjelang siang, Rasul SAW dan Abu Bakar berangkat meninggalkan Gua Tsur. Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badui dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, mereka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW bersama Abu Bakar, Amir, dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristirahat di siang hari di bawah panas membara dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasul dan sahabatnya berteguh hati dan perasaan damai menyelimuti.

Saat memasuki daerah kabilah Banu Sahm, Buraidah, kepala kabilah itu menyambut mereka. Perasaan lega semakin terasa. Karena jarak mereka dengan Yatsrib sudah semakin dekat.

Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah tersiar di Yatsrib. Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum'at, 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 Kenabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di langit Madinah. Syair pun berkumandang:

Thala’al badru ‘alaina
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da`
Ayyuhal mab'utsu fina
Ji'ta bil amril mutha'

Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada'
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati


Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi penolongnya. Dengan penuh suka cita, ia telah mempersiapkan bangunan rumah bagi Nabi. "Terserah olehmu, wahai kekasih Allah... bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu," kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi SAW memilih untuk tinggal bersama istrinya, Saudah binti Zam’ah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.

Hari itu jatuh pada hari Jum’at, sehingga beliau bersegera untuk melaksanakan ibadah Jum'at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ranunah, Baqi,  tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan langkahnya. Nabi SAW turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”

“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.
Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid.
Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam perjalanan hijrah yang amat berkesan.

"Hendaklah ke Yatsrib"

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permusuhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Mereka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah.

Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mempedulikan lagi harta benda milik mereka. Mereka ingin segera melaksanakan perintah Rasul itu.

Mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab’ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Mereka tiba di rumah-rumah kaum Anshar dan mendapatkan tempat perlindungan.

Siapa Yang Ingin Istrinya Menjanda...

Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahunya yang kokoh. Saat meninggalkan rumahnya, ia menuju Ka’bah.

Sambil disaksikan beberapa orang tokoh Quraisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang.

Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia berdiri seraya berkata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilindungi perjalanannya. Kemudian Umar berjalan dengan gagah dan santai.

Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Hijrah ke Habasyah

Sebelum munculnya peristiwa hijrah ke Madinah, umat Islam pernah melakukan hijrah ke Habasyah.

Kenapa hijrah ke Habasyah? Bukankah masih ada daerah lain yang relatif lebih dekat dari Makkah? Yaman, Syam, Hirah, misalnya.
Ahmad Syalabi, dalam bukunya At-Tarikh al-Islamiyy wa al-Hadharah al-Islamiyyah, menceritakan, tidak dipilihnya Yaman sebagai tempat hijrah, karena negeri ini pada saat itu di bawah kekuasaan Persia. Bazan, gubernur Yaman, malah diperintahkan Kisra, raja Persia, untuk menangkap Nabi SAW hidup-hidup untuk dibunuh. Sedangkan Syam dan Hirah memiliki hubungan ekonomi yang sangat erat dengan suku Quraisy, suku yang paling keras memusuhi Nabi.

Pilihan Nabi jatuh ke Habasyah (Ethiopia, kini). Meskipun jauh, raja Habasyah dikenal adil dan bijak. Apalagi Nabi memiliki hubungan baik, meski keduanya berbeda keyakinan pada saat itu. Itu terlihat dari jawaban raja Habasyah atas surat dakwah yang  Nabi kirimkan. 

Habasyah adalah negeri yang terletak di selatan benua Afrika. Untuk mencapainya, perjalanan berbulan-bulan. Namun jarak yang sangat jauh itu tidak menjadi hambatan bagi mereka yang beriman, yakni para sahabat sejati Rasulullah SAW. Panasnya gurun, tingginya gelombang lautan, dan para penyamun yang berkeliaran, seolah tidak lagi dipikirkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Hijrah ke Habasyah terjadi pada tahun kelima setelah kenabian. Najasyi, sang raja Habasyah, sangat menaruh perhatian dengan kaum muslimin yang berhijrah ke negerinya, meskipun ia seorang Nasrani. Nabi mengizinkan para sahabat dengan mengatakan, “Pergilah ke Habasyah. Rajanya tak pernah berbuat zhalim. Tinggallah di sana agar kalian bebas dari penderitaan seperti yang kalian alami di sini.”

Hijrah Habasyah terjadi dalam dua fase. Fase pertama berangkat sebanyak 10 orang laki-laki dan lima perempuan dengan kepala rombongannya Utsman bin Maz’un, atau Utsman bin Affan RA. Fase kedua terjadi selang tiga-empat bulan. Hijrah fase kedua ini dilakukan oleh 83 orang laki-laki dan 19 orang perempuan, di bawah pimpinan Ja’far bin Abu Thalib RA.

Dari dua fase ini, beberapa orang ada yang menetap di Habasyah, sedangkan sebahagian lainnya berpindah ke Madinah, setelah peristiwa hijrah ke Madinah.

Setelah fase pertama, intimidasi orang-orang Quraisy kian meningkatkan. Maka, Nabi SAW kembali menganjurkan hijrah ke Habasyah.

Seperti pada hijrah pertama, kaum muslimin disambut dengan baik oleh Raja Najasyi.

Hujjah Ja’far yang Memukau

Musyrikin Makkah marah. Mereka merasa kecolongan dengan hijrahnya para sahabat ke Habasyah. Mereka berkumpul, mencari cara agar kaum muslimin yang berhijrah itu bisa diekstradisi ke Makkah. Kaum musyrikin bersepakat untuk melakukan perundingan dengan Raja Najasyi dengan mengutus Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash.

Untuk memuluskan perundingan, musyrikin Makkah membawakan berbagai macam barang berharga untuk Raja dan bawahannya. Setiap panglima akan mendapatkan hadiah khusus. Pesan orang-orang kafir Quraisy kepada Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash, “Ketika bertemu Raja, serahkan hadiah yang telah disiapkan untuknya. Lalu, mintalah agar Raja mau menyerahkan kaum muslim tanpa ia harus menanyakan persetujuan kaum muslim lebih dulu.”

Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash pun berangkat.

Sesampainya di sana, kepada setiap panglima yang ditemui, mereka memberikan hadiah khusus dan mengatakan, “Orang-orang bodoh Makkah datang ke negeri kalian. Mereka meninggalkan agama kaum Makkah, tapi tak juga memeluk agama kalian. Dan, justru membawa agama yang menyimpang. Kami tidak paham agama itu. Tentu kalian juga tidak paham.

Tujuan kami ke sini adalah untuk memulangkan mereka ke Makkah. Dan, raja kalian tidak perlu meminta pendapat orang-orang bodoh itu lebih dulu. Kami lebih paham tentang mereka.”

Abdullah dan Amr kemudian bertemu dengan Raja Najasyi dan menyampaikan seperti apa yang mereka katakan kepada para panglima.

Raja tampak serius mendengarkan ucapan mereka.

“Tidak! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian. Setiap orang yang datang ke negeri ini akan mendapatkan perlindunganku,” kata Raja kepada Abdullah dan Amr.

“Aku akan memanggil salah seorang di antara mereka untuk memastikan kebenaran ucapan kalian.

Jika mereka seperti yang kalian ceritakan, aku akan mengembalikan mereka kepada kalian. Jika ternyata tidak, aku akan tetap melindungi mereka. Aku tetap akan menjamin keamanan orang-orang yang datang ke negeriku.”

Raja lalu menyuruh salah seorang punggawa untuk memanggil para sahabat.

Mereka khawatir akan terjadi sesuatu atas pemanggilan itu. Mereka saling tanya, “Apa yang akan kita katakan kepada Raja?”
Yang lain menjawab, “Kita akan mengatakan apa yang kita tahu. Kita akan mengatakan apa yang diperintahkan Nabi, apa adanya.”

Para sahabat pun menghadap Raja.

Di samping Raja, para pendeta membuka kitab suci mereka.

“Agama apa yang kalian peluk sehingga kalian memisahkan diri? Mengapa kalian tidak memeluk agamaku saja? Atau agama yang lain?” tanya Raja kepada para sahabat.

Ja‘far bin Abu Thalib RA berdiri lalu maju ke depan Raja. Dengan mantap, ia menjawab, “Baginda Raja, dulu kami adalah kaum Jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan kejahatan, memutus hubungan persaudaraan, tak menghormati tetangga, yang kuat menindas yang lemah, melakukan apa saja yang buruk yang seharusnya tidak pantas pada diri kami sebagai manusia. Begitulah keadaan kami. Sampai kemudian Allah mengutus seorang nabi yang lahir dari bangsa kami sendiri….”

Ja‘far berbicara cukup panjang, menceritakan ihwal Nabi, akhlaqnya, ajaran yang dibawanya, yang mengajarkan kebaikan. Ia ceritakan semuanya apa adanya.

“Dan oleh sebab semua itu, orang-orang Quraisy menyiksa kami agar meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala. Mereka menekan, menindas, dan menzhalimi kami. Sebab itulah kami memisahkan diri dari kaum kami dan mencari perlindungan di negerimu.

Baginda Raja, di sini kami berharap tidak akan mendapat perlakuan zhalim,” kata Ja‘far menutup pembicaraannya.

Raja Najasyi terpukau dengan penjelasan Ja‘far. Ia kemudian memandang para sahabat yang berhijrah ke negerinya. Lalu, kembali memandang Ja‘far.

“Apakah engkau bisa menunjukkan sesuatu yang Nabi terima dari Allah?”

“Ya!”

“Baiklah! Tunjukkan kepadaku dan bacakan!”

Lalu Ja‘far membacakan surah Maryam, yang mengisahkan kelahiran Nabi Isa, kesucian Maryam, dan lain-lain.

Raja Najasyi dan para pendeta menyimak dengan seksama. Ayat demi ayat yang dibacakan Ja‘far membuat mereka menangis. Linangan air mata mengalir hingga membasahi jenggot Raja. Seluruh ruangan hening.

Raja Najasyi menyeka air matanya, kemudian berkata, “Agama kalian dan agama yang dibawa Nabi Isa adalah dua pancaran cahaya yang keluar dari lentera yang sama.”

Raja Najasyi lalu menoleh kepada Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash, utusan musyrikin Makkah.

“Pulanglah kalian! Sungguh, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian. Mereka tidak boleh disakiti oleh siapa pun!”
Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash pun berlalu dari hadapan Raja Najasyi.

Malam itu mereka berpikir panjang. Apa yang akan mereka katakan soal kegagalan ini di hadapan tokoh-tokoh musyrikin? Bagaimana jika Muhammad bin Abdullah SAW mencibir mereka?

Amr bin Al-Ash berpikir keras hingga ia mendapatkan ide baru. Ia berkata kepada rekannya, Abdullah, “Besok aku akan kembali menghadap Raja! Aku akan menyiasati agar Raja mau menghukum mereka! Kita tidak boleh pulang dengan tangan hampa setelah melewati perjalanan melelahkan ini dan dengan biaya mahal pula!”

Tapi Abdullah bin Abi Rabiah tidak setuju. “Sebaiknya kau tidak melakukannya, Amr!” kata Abdullah. “Meski berselisih dengan kita, para Muhajirin itu sebagian adalah kerabat kita!”

Namun Amr tetap bersikeras dengan rencananya. Ia merasa, rencananya akan berhasil.

Esok harinya, Amr mendapatkan izin untuk menemui Raja. Dengan penuh keyakinan, Amr menghadap Raja Najasyi.

“Baginda Raja yang mulia, Ja‘far dan kawan-kawannya telah mengeluarkan kata-kata keji dan benar-benar tidak pantas untuk Isa bin Maryam!” kata Amr memulai rekayasa.

“Apa yang mereka katakan?”

“Silakan Tuan suruh salah seorang punggawa untuk memanggil mereka. Lalu, Tuan tanyakan langsung kepada mereka.”
Kemudian para sahabat dipanggil.

Mereka terkejut dengan pemanggilan itu. Tapi mereka tahu, itu adalah rekayasa Amr. Mereka khawatir jika Raja benar-benar terpengaruh oleh rekayasa itu kemudian berubah pikiran. Mereka benar-benar gentar, tidak pernah mereka segentar itu.

“Apa yang akan kita katakan kepada Raja soal Isa putra Maryam? Raja tidak akan menerima perkataan kita,” kata mereka saling tanya.

“Kita akan mengatakan apa yang diceritakan Al-Quran. Dan, apa pun yang akan terjadi nanti, kita harus siap menghadapi,” jawab Ja‘far dengan tegas.

Para sahabat Muhajirin menghadap Raja Najasyi.

Raja pun langsung melontarkan pertanyaan, “Apa yang kalian tahu tentang Isa?”

Ja‘far berdiri lalu menjawab dengan tegas, “Kami mengetahui Isa bin Maryam seperti yang kami terima dari nabi kami. Yakni bahwa Isa adalah putra Maryam, dia hamba Allah, utusan Allah, ruh Allah, dan kalimat Allah yang dititipkan kepada Maryam, Sang Perawan Suci.”

Selesai dengan jawaban singkat itu, Ja‘far kembali duduk.

Raja merundukkan badan dan memukulkan tangannya ke lantai, lalu memungut tongkat dan mengangkatnya ke atas seraya berkata, “Sungguh, Ja‘far! Jika bukan karena Isa bin Maryam, pastilah tongkat ini sudah hancur!”

Para panglima yang hadir seketika menundukkan kepala dan saling merapat. Seperti ada penyesalan dalam diri mereka, yang telah menerima sogokan dari utusan kaum Quraisy itu.

“Kalian rapuh!” kata Raja, memaki para panglimanya itu.

Raja Najasy kemudian memandangi para sahabat Muhajirin dan berkata, “Keluarlah! Kalian aman! Orang yang mencaci kalian akan menyesal!” Ia mengulang-ulang perkataannya itu sampai tiga kali.

“Aku tidak akan menyakiti kalian meski mendapat iming-iming gunung emas!”

Kemudian kepada para panglimanya, Raja berkata, “Sekarang, kembalikan hadiah-hadiah itu kepada Abdullah dan Amr!”

Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash berlalu dari hadapan Raja Najasyi dengan penuh kehinaan. Sementara, para sahabat Muhajirin tetap menikmati tinggal di negeri damai dengan seorang raja yang baik hati.

Subhanallah, begitu besar jasa Raja Najasyi bagi para sahabat. Alhamdulillah, beberapa tahun kemudian, ia masuk Islam.

Nabi SAW sendiri dan beberapa orang sahabat lainnya tidak berhijrah ke Habasyah. Pada saat itu Nabi masih memiliki sejumlah orang dekat yang selalu melindunginya, seperti pamannya, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah binti Khuwailid.

Hijrahnya Ulama dan Sufi


Perjalanan hijrah merupakan sunnah para nabi dan rasul, yang kemudian diikuti para ulama dan kaum sufi. Hijrah di kalangan ulama dan sufi di masa salaf adalah hijrah yang penuh warna. Ada di antara mereka yang berhijrah lantaran kekejian penguasa, jalan pertaubatan, melakukan rihlah ilmiyah, melaksanakan dakwah, ada pula untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Mereka menyambangi satu kota ke kota lainnya, satu negeri ke negeri lainnya, baik berkendara kuda atau unta maupun berjalan kaki.

Diceritakan dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala dari jalan periwayatan Al-Fadhl bin Musa bahwa Al-Fudhail bin Iyadh dulunya seorang penyamun yang sering menghadang orang di daerah antara Abu Wardah dan Sirjis.

Suatu ketika, ia terpikat dengan seorang perempuan. Ia ingin melampiaskan hasratnya terhadap perempuan itu. Ia lalu menaiki tembok rumah si perempuan. Tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca ayat yang berbunyi, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah turun Al-Kitab kepadanya kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al-Hadid: 16).

Al-Fudhail langsung bergumam, “Tentu saja, wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Lalu ia tak jadi melaksanakan hasratnya itu.

Pada malam itu juga ketika ia bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, ada sekelompok orang yang tengah lewat.
Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus?”

Yang lain menjawab, “Ya, kita jalan terus sampai pagi. Karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.”

Al-Fudhail lalu merenung dan berkata, "Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan orang-orang di situ ketakutan kepadaku. Tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti dari kemaksiatan ini. Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitullah Al-Haram.”

Ia habiskan satu masa di Kufah untuk mengaji dengan ulama di negeri itu, seperti Al-A’masyi, ‘Atha bin As-Su'aib, Shafwan bin Salim. Kemudian ia pergi menuju Makkah.

Di Makkah, ia bekerja berjualan air dipikul untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Ia tidak mau menerima pemberian dari para pemuka masyarakat, karena kehati-hatiannya untuk sesuatu yang halal.

Kisah Al-Fudhail hanya satu dari sekian contoh ulama dan kaum sufi salaf yang melakukan hijrah dalam kehidupannya untuk menuju keridhaan Allah SWT.

Kisah Al-Muhajir Ahmad bin Isa Ar-Rumi

Satu contoh lagi terdapat dalam perikehidupan dzurriyyah Rasulullah SAW yang bernama Imam Ahmad, yang bergelar “Al-Muhajir”. Gelar Al-Muhajir disematkan atas dirinya lantaran kesanggupannya mengikuti tradisi para nabi, rasul, dan sahabat.

Imam Ahmad adalah putra Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibth bin Ali RA dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra putri Rasulullah SAW.

Ia adalah salah seorang putra dari 30 putra Isa Ar-Rumi, yang dilahirkan pada tahun 260 H/872 M, dan melakukan hijrah yang amat jauh dari Bashrah ke Hadhramaut.

Pada tahun 317 H/928 M, ia melakukan perjalanan ke Madinah. Di Madinah ia menetap setahun. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga menyempatkan diri untuk belajar kepada Syaikh Abu Thalib Al-Makki. Dari Makkah ia melanjutkan perjalanan ke Hajrain hingga berakhir di Husaisah, Hadhramaut.

Dalam rihlah yang sangat jauh ini, ia membawa 70 orang anggota keluarganya, termasuk istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin Al-Hasan bin Ali Al-Uraidhi, putranya, Ubaidillah, dan ketiga cucunya, Alwi, Jadid, dan Ismail Al-Bashri.

Kepindahan Al-Muhajir dari Bashrah tidak terlepas dari kekangan dan kebuntuan yang dialaminya akibat rezim Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad. Sebagai keturunan Sayyidina Ali RA, yang disebut kelompok Alawiyyin, ia sering kali menjadi korban kepentingan politik di Baghdad. Saat itu, kelompok Alawiyyin memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang politik.

Ia dan segenap keluarganya memilih untuk menjauhkan diri dari kekuasaan. Sebagaimana ia tunjukkan dengan menitikberatkan aktivitas kehidupan dalam keluarganya dengan ilmu dan ketaqwaan. Ia memilih jalan hidup kaum sufi, sekalipun ia memiliki kedudukan terhormat dan disegani serta kekayaan yang banyak.

Akhir perjalanan di Husaisah telah menghantarkannya kepada posisi yang sangat penting bagi perjalanan dzurriyyah Rasulullah SAW. Ia menerangi kehidupan Hadhramaut dengan ilmu dan amal. Kesesatan menghilang akibat sinaran petunjuk kebenaran yang dibawanya. Dari Hadhramaut-lah kemudian cahaya keluarga Nabi SAW bersinar ke berbagai penjuru.

Imam Ahmad Al-Muhajir wafat pada tahun 345 H/956 M di Husaisah, Hadhramaut, dengan meninggalkan keturunan yang mewarisi datuk-datuknya yang mulia dengan ilmu dan adab.

Hijrah dalam Konteks Kekinian

Hijrah dalam artian fisik yang dinyatakan telah berakhir setelah Fathu Makkah, sebagaimana sabda Nabi, "La hijrata ba'dal fath" (Tidak ada hijrah lagi setelah Pembebasan Makkah).

Namun, semangat hijrah harus tetap ada dalam setiap sanubari muslimin, yakni hijrah dari sisi jiwa, berdasarkan hadits “...wal muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu.” (orang yang hijrah ialah orang yang berpaling dari apa yang dilarang Allah). Yakni hijrah dengan meninggalkan semua perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Persis seperti kebencian Rasulullah dan sahabat atas kezhaliman kaum musyrikin, upaya Al-Fudhail meninggalkan kezhaliman dirinya, dan upaya Imam Al-Muhajir meninggalkan kezhaliman yang menimpa dirinya dan keluarganya.

Untuk dapat melakukan hijrah ruhaniyah ini dibutuhkan pemahaman yang sempurna akan hakikat dosa dan kemaksiatan. Kemaksiatan yang dapat mempekatkan hati seseorang, sebagaimana sabda Nabi, "Idza adznabal ‘abdu nuqitha fi qalbihi nuqthatan sauda’-a" (Apabila seorang hamba berbuat dosa, diberi sebuah titik hitam di dalam hatinya).

Nabi SAW, sahabat, ulama, waliyullah, dan dzurriyyah adalah contoh terbaik, model tercanggih, saat kita ingin memahami hijrah dalam konteks kekinian. Pemahaman yang mendalam tentang kisah hijrah ini akan mendatangkan pelajaran bagi kita untuk mengenal hakikat diri sebagai hamba Allah SWT, yang di dunia ini hanyalah pengembara. Persis seperti yang dikatakan Nabi SAW, "Kun fi dun-ya ka-annaka gharibun aw 'abiru sabiilin" (Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang tengah mengembara).

Kamis, 09 Desember 2010

Profil

Sayyid Muhammad ibn Alawi Al Maliki (1365-1425 H / 2004 M)



Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah pada tahun 1365 H. Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki, dekat Bab As-salam Ayah beliau, Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki (kelahiran Makkah th 1328H), seorang alim ulama terkenal dan ternama di kota Makkah. Disamping aktif dalam berdawah baik di Masjidil Haram atau di kota kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif, Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki adalah seorang alim ulama yang pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah salat Jumat dengan judul “Hadist al-Jumah”. Begitu pula ayah beliau adalah seorang Qadhi yang selalu di panggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan.Selama menjalankan tugas da’wah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaiki selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas. Mereka berdua selalu mendampinginya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah. Adapun yang meneruskan perjalanan dakwah setelah wafat beliau adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya.
Sebagaimana adat para Sadah dan Asyraf ahli Makkah, Sayyid Alwi Almaliki selalu menggunakan pakaian yang berlainan dengan ulama yang berada di sekitarnya. Beliau selalu mengenakan jubbah, serban (imamah) dan burdah atau rida yang biasa digunakan dan dikenakan Asyraf Makkah.
Setelah wafat Sayyid Alwi Almaiki, anaknya Sayyid Muhammad tampil sebagai penerus ayahnya. Dan sebelumnya ia selalu mendapatkan sedikit kesulitan karena ia merasa belum siap untuk menjadi pengganti ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah ia melanjutkan studi dan ta’limnya terlebih dahulu. Beliau berangkat ke Kairo dan Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihanya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidi Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universiatas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil menggarap untuk membuka majlis ta’lim dan pondok di rumah beliau.
Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjid haram atau di rumah beliau tidak berpoin kepada ilmu tertentu seperti di Universitas. Akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan semua bisa mencicipi apa yang diberikan Sayyid Maliki. Maka dari itu beliau selalu menitik-beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama.
Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di mana negara saja kita dapatkan murid beliau, di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan sebagai orbit dahwah sayid Muhammad Almaliki, ribuan murid murid beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak sedikit dari murid2 beliau yang masuk ke dalam pemerintahan.
Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari pula beliau telah berusaha mendirikan pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit, semua berdatangan dari seluruh penjuru dunia, belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar para santri dipulangkan ke negara-negara mereka untuk menyiarkan agama.
Sayid Muhammad Almaliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah.thariqahnya.
Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat baik dengan pemikirannya atau dengan alirianya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan menklirkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang jitu bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan berkesudahan. Beliau tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas dan ta’lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak bersependapat dan sealiran dengannya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Quran dan Sunah. Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki, mereka pintar-pintar dan terpelajar. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan marja’ dan reference di negara-negara mereka. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya atau tidak searah dengannya
Tulisan Beliau
Di samping tugas beliau sebagai da’i, pengajar, pembibing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat bagi agama, beliau pula seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya, semuanya beredar di seluruh dunia. Tidak sedikit dari kitab2 beliau yang beredar telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll.
Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia. Kita sebutkan sebahagian hasilnya dalam pelbagai bidang:
Aqidah:
1. Mafahim Yajib an Tusahhah
2. Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
3. At-Tahzir min at-Takfir
4. Huwa Allah
5. Qul Hazihi Sabeeli
6. Sharh ‘Aqidat al-‘Awam
Tafsir:
1. Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
2. Wa Huwa bi al-Ufuq al-‘A’la
3. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ulum al-Quran
4. Hawl Khasa’is al-Quran
Hadith:
1. Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
2. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith
3. Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
4. Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik
Sirah:
1. Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
2. Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
3. ‘Urf al-Ta’rif bi al-Mawlid al-Sharif
4. Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M’iraj Khayr al-Bariyyah
5. Al-Zakha’ir al-Muhammadiyyah
6. Zikriyat wa Munasabat
7. Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra
Usul:
1. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
2. Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
3. Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah
Fiqh:
1. Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha
2. Shawariq al-Anwar min Ad‘iyat al-Sadah al-Akhyar
3. Abwab al-Faraj
4. Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
5. Al-Husun al-Mani‘ah
6. Mukhtasar Shawariq al-Anwar
Lain-lain:
1. Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
2. Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
3. Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
4. Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da‘wah ila Allah (Teknik Dawah)
5. Ma La ‘Aynun Ra’at (Butiran Syurga)
6. Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
7. Al-Muslimun Bayn al-Waqi‘ wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
8. Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
9. Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
10. Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
11. Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
12. Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
13. Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas)
14. Al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
15. Al-Tali‘ al-Sa‘id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
16. Al-‘Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
Senarai di atas merupakan antara kitab As-Sayyid Muhammad yang telah dihasilkan dan diterbitkan. Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.Kita juga tidak menyebutkan banyak penghasilan turath yang telah dikaji, dan diterbitkan buat pertama kali, dengan nota kaki dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa.
Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan) adalah salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red.) bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka.
Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.
Pada akhir hayatnya yang berkenaan dengan adanya kejadian teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syeikh sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti “Hiwar Fikri” di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 Dhul Q’idah 1424 H dengan judul “Al-qhuluw wal I’tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah”, di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist. Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul “Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama”. Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da’wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas.
Pada tg 11/11/1424, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da’wah.
Beliau wafat meninggalkan 6 putra, Ahmad, Abdullah, Alwi, Ali, al- Hasan dan al-Husen dan beberapa putri-putri yang tidak bisa disebut satu persatu disini .
Beliau wafat hari jumat tg 15 ramadhan 1425 dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la disamping kuburan istri Rasulallah Khadijah binti Khuailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negri. Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, semua menyaksikan janazah beliau setelah disembahyangkan di Masjidil Haram ba’da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza’. Dan di hari terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat.
Semoga kita bisa meneladani beliau. Amien.