KRISIS SPIRITUAL
I. Pendahuluan
Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern.
Adalah suatu kenyataan bahwa spiritualitas semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern dewasa ini. Fenomena keagamaan ini sangat menarik untuk dicermati, karena akhir-akhir ini terdapat pula kecenderungan “rekonsiliasi” antara nilai sufistik dengan dunia modern. Ada kecenderungan baru bahwa dimensi spiritualitas yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali oleh masyarakat Barat karena kemajuan yang telah mereka peroleh dalam bidang iptek membuktikan bahwa problema yang muncul kemudian akibat kemajuan dunia global tetap saja belum terpecahkan. Kegagalan manusia modern, ternyata oleh para pengamat hampir sepakat mengatakan bahwa krisis besar melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek sendiri dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka.
II. Pembahasan
A. Tasawuf sebagai Terapi Krisis Spiritual
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan tasawuf, meskipun demikian mereka sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu seorang sufi adalah mereka yang
bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa) jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf adalah semangat (inti Islam). Sebab, ketentuan hukum Islam tanpa tasawuf (moral) adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi.
Esensi agama Islam adalah moral, yaitu moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain, termasuk masyarakat dengan lingkungannya. Moral yang terjalin dalam hubungan antar hamba dengan Tuhan menegaskan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta, menindas, mengabdikan diri kepada selain khaliq, membiarkan orang yang lemah dan berkhianat.
Moral seseorang dengan dirinya melahirkan tindakan positif bagi diri, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmani. Dengan demikian, krisis spiritual tidak akan terjadi padanya. Selanjutnya moral yang terjalin pada hubungan antara seorang dengan orang lain, menyebabkan keharmonisan, kedamaian, dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis (spiritual, moral, dan budaya).
Moralitas yang diajarkan oleh tasawuf akan mengangkat manusia ke tingkat shafa al-Tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki moralitas Allah (al-Takhalluq bi Akhlaq Allah). Dan manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia dengan iradhah-Nya. Sebagai konsekuennya, seorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa kemanfaatan, serta selaras dengan tuntutan Allah.
Lebih lanjut, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual. Sebab, pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama.
Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubngan seorang hamba dengan Allah dijalin atas rasa kecintaan. Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang Sempurna, Indah, Penyayang dan Pengasih, Kekal, al-Haq, serta selalu hadir kapan pun dan dimana pun. Oleh karena itu, Dia adalah Dzat yang paling patut dicintai dan diabdi. Hubungan yang mesra ini akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, inti dari ajaran tobat.
Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya. Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu, hubungan perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia.
B. Nilai-nilai Spiritual
Munculnya tasawuf sebagai alternatif yang terpilih untuk merespon kemiskinan spiritual masyarakat modern, khususnya di Barat, sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajarkan hal-hal yang cukup rasional dan sekaligus supra rasional. Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya membuat orang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber formal, seperti al-Qur’an dan Hadits, dan dari pengalaman keagamaan atau mistik telah dikembangkan para sufi sebelumnya.
Nilai-nilai atau keutamaan dalam sufisme sangat beragam, mereka menyebutnya dengan istilah maqamat atau stasiun-stasiun yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada Tuhan. Setiap stasiun memerlukan waktu yang panjang dan sangat tergantung pada kesungguhan masing-masing seseorang dan stasiun-stasiun itu sendiri sangat bervariasa di kalangan sufi. Mulai dari taubat, ridha, wara’, keikhlasan dalam beribadah (ikhlas), kerinduan (syauq) dan cinta pada Tuhan (mahabbah), mengenyampingkan dunia (zuhud), kepuasan hati (qana’ah), mengingat Allah (zikr), dan kesatuan mistik (ittihad).
C. Modernisme dan Kebutuhan Spiritual
Dunia sekarang mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga, antar tetangga dan kelompok masyarakat, dan stabilitas nasional, tetapi sampai pada kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat diredam oleh setiap orang pada dirinya. Bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan hanya jika seseorang telah menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakal dan ridha yang diajarkan Islam dan yang menjadi maqamat atau stasiun di kalangan kaum sufi menuju Tuhan.
Namun, pengalaman sufi di zaman modern, hendaknya diletakkan secara proporsional. Artinya, tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang-orang tertentu yang mampu mengamalkan sepenuhnya suluk dan zuhud seperti pengalaman yang melalui stasiun-stasiun mulai dari yang terendah sampai pada tingkat yang tertinggi, sehingga ia hidup dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi sebenarnya untuk zaman modern ini orientasi kesufian sebaiknya diarahkan untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas.
Untuk itu, yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan dalam arti mengamalkan secara aplikatif nilai-nilai spiritual yang telah disebutkan sebelumnya di tengah dinamika modernitas kehidupan manusia. Di sini, pengertian kesufian tidak terlalu diasosiasikan dengan penyendirian dan pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami dinamika dunia modern. Sufi masa modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiah yang memancar dalam bentuk prilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makana hadits Rasulullah Saw., bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia. Kesan bahwa sufi yang harus menjauhkan diri dari masyarakat (‘uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh Muhammad Iqbal mungkin sulit dipahami oleh dunia modern dalam era globalisasi sekarang ini.
Bahwa untuk mengamalkan praktek kesufian dalam arti penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan, tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban modern yang cirinya adalah pemanfaatan IPTEK dan pendayagunaan sumber daya secara maksimal serta kemakmuran kehidupan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam prilaku keseharian kita, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu di abad modern ini. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab kita sebagai khalifah Tuhan yang harus berbuat baik kepada sesama manusia dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
III. Penutup
Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai spiritualitas sebaiknya tidak hanya dapat bertahan dari pengaruh negatif modernisasi, tetapi juga dapat mempengaruhi dan memberikan arah bagi terbentuknya tataran kehidupan masyarakat yang kreatif, dinamis, dan agamis. Oleh sebab itu, perlu upaya antara lain; pertama, mengembangkan sikap antisipatif sebagai implementasi dari prinsip “memelihara yanglama yang baik serta mengambil yang baru yang lebih baik”. Prinsip ini memberikan dorongan untuk tetap bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang positif yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik. Dalam kaitannya dengan modernisasi dan perkembangan teknologi yang dituntut adalah sikap kritis dan selektif.
Kedua, menumbuhkan sikap kreatif sesuai dengan prinsip iqamat al-maslahah (membangun kesejahteraan). Prinsip ini mendorong untuk aktif mencari alternatif dan menghasilkan produk-produk yang dapat membangun kesejahteraan umat. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya sekedar menggunakan produk-produk orang lain, melainkan harus dapat membuat produk sendiri yang pembuatannya tidak hanya berdasarkan iptek, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran Islam.
Ketiga, memadukan antara tasawuf ‘amali dan tasawuf falsafi agar terjadi keseimbangan (tawazun) antara nilai-nilai yang diamalkan dan pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang bersifat amali secara sosiologis mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam membentuk jati diri, sedangkan nilai-nilai yang bersifat pemikiran akan memberikan motivasi dan kemantapan dalam pengamalan nilai tersebut serta memberikan jawaban terhadap tuntutan perkembangan era global.
Keempat, memadukan antara tauhid, fikih dan tasawuf sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan agar
Daftar Pustaka
Al-Hajjar, Muhammad. Al-Hubb al-Khalid (Negeri Para Pencinta: Konsep Cinta Abadi dalam Tasawuf), terj. Muhammad Absul Qadir al-Kaf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Al-Munawar, Said Agil. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Syukur, Amin dan Muhayya, Abdul. Tasawuf dan Krisis. Semarang: IAIN Wali Songo Press, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar